Rabu, 14 Oktober 2009

ALIRAN SKEPTISISME DALAM ILMU PENGETAHUAN


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

bahwa probabilitas dan kemungkinan pengetahuan merupakan poin yang tidak akan pernah diingkari dan diragukan oleh orang-orang yang berakal. Setiap individu dalam sehari senantiasa mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang perkara-perkara yang dibutuhkannya atau seseorang berupaya dengan sebaik dan sesempurna mungkin untuk menghadirkan satu atau beragam disiplin ilmu dan pengetahuan tertentu. Setiap manusia menjalani kehidupannya dengan berpijak pada ribuan gambaran-gambaran yang terdapat dalam pikirannya dan berkeyakinan bahwa di luar alam pikiran ini terdapat alam lain yang hakiki dan realitas-realitas yang mandiri dimana gambaran-gambaran pikiran tersebut merupakan pencerminan terhadap apa-apa yang terdapat di alam eksternal. Tak satupun manusia yang berakal sehat yang meragukan keberadaan alam eksternal tersebut, begitu pula tak satupun meragukan bahwa dia mengetahui sesuatu dan dapat memahami sesuatu. dalam sejarah filsafat telah ditunjukkan bahwa terdapat gelombang-gelombang Sofisme dan Skeptisisme yang menghanyutkan dan menjauhkan manusia dari pencapaian makrifat dan pengetahuan. Kedua paham ini hadir di Eropa dan Yunani kuno pada abad kelima sebelum Masehi. Pandangan-pandangan dari kedua paham tersebut sempat mempengaruhi sebagian ilmuan-ilmuan. Paham-paham tersebut secara mutlak mengingkari segala bentuk eksistensi, keberadaan, ilmu, pengetahuan, dan makrifat. Sofisme adalah suatu paham yang menafikan secara mutlak keberadaan alam eksternal yang kemudian berkonsekuensi pada penolakan segala jenis makrifat dan pengetahuan. Mereka ini beranggapan bahwa alam eksternal itu sama sekali tidak berwujud sehingga dapat dihasilkan darinya suatu ilmu, pengetahuan, dan makrifat; 2. Sementara Skeptisisme merupakan suatu paham lain yang tidak mengingkari alam eksternal, namun, menafikan segala bentuk makrifat dan pengetahuan yang berasal dari alam tersebut.

I.2 RUMUSAN MASALAH
A. BAGAIMANA SKEPTISISME DALAM HUBUNGANNYA DENGAN ILMU PENGETAHUAN?
B. BAGAIMANA PENGARUH ALIRAN SKEPTISISME DALAM MASALAH PROBABILITAS PENGETAHUAN?

I.3 RUANG LINGKUP MASALAH
Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam penulisan paper ini adalah sebatas pengertian dan teori-teori aliran filsafat hukum skeptisisme dalam kaitannya dengan masalah probabilitas pengetahuan. Selain itu juga membahas mengenai hubungan dan pengaruh aliran skeptisisme dalam kaitannya dengan masalah probabilitas pengetahuan. Dasar-dasar aliran skeptisisme dijabarkan dari mulai pengertian, sejarah, dan macam-macam keyakinan serta keragu-raguan yang bisa digunakan untuk menganalisa rumusan masalah dalam penulisan paper ini.

BAB II
PEMBAHASAN

II.1

Aliran Skeptisisme muncul hampir sezaman dengan kehadiran Sofisme dimana mereka meragukan adanya kemungkinan pencapaian pengetahuan yang benar terhadap alam eksternal. Mereka mengungkap beberapa argumen dan dalil bahwa kita tidak bisa beranggapan mengetahui secara tepat hakikat-hakikat itu sebagaimana adanya, melainkan kita mesti menyatakan bahwa hakikat-hakikat itu kita pahami berdasarkan kondisi-kondisi dan batasan-batasan dari indra dan persepsi kita masing-masing. Namun, apakah hakikat itu? Kita sama sekali tidak mengetahuinya, dengan demikian, kita menahan diri untuk menilai dan mengungkap pendapat mengenai segala permasalahan, serta kita menempatkan seluruh persoalan filsafat, ilmu, dan matematika sebagai hal-hal yang tidak diyakini dan masih diragukan.
Apabila Skeptisisme itu telah sirna di zaman Yunani kuno pada abad kelima sebelum Masehi di tangan para filosof besar Yunani, maka mungkin kita tidak temukan lagi sejenis keraguan terhadap nilai dan validitas pengetahuan yang hadir dalam evolusi pengetahuan astronomi dan ilmu-ilmu alam di Barat. Kita bisa saksikan bagaimana pemikiran-pemikiran Sofisme Yunani Kuno seperti Corylas yang kemudian hidup kembali dalam bentuk Idealisme Berkeley. Penyebab munculnya aliran yang meragukan nilai dan validitas pengetahuan adalah perubahan yang mendasar dalam bidang astronomi dan ilmu-ilmu alam serta perubahan pada persoalan-persoalan yang sangat "diyakini" kebenarannya dimana sebelumnya tak dimungkinkan adanya kekeliruan padanya.
Sehingga, validitas ilmu dan pengetahuan menjadi sirna dan terungkaplah ketidakberdayaan umat manusia untuk menggapai hakikat, pengetahuan, ilmu, makrifat dan kayakinan. Padahal diketahui bahwa hanya satu bidang keilmuan yang kehilangan validitasnya, namun sangat disayangkan bahwa orang seperti Berkeley mempunyai pandangan ekstrim yang menggeneralisasikan keraguan-keraguan tersebut kepada semua ilmu dan pengetahuan. Evolusi pengetahuan di Barat, tidak hanya menghidupkan kembali aliran-aliran seperti Sofisme, melainkan juga menyebabkan filsafat kontemporer itu berubah menjadi suatu filsafat yang tidak lagi disandarkan dengan subjek-subjek keilmuan dan hanya semata berpijak pada asumsi-asumsi ilmiah. Dari hasil gabungan ilmu-ilmu empirik ditarik suatu kesimpulan hukum yang bersifat universal dan kemudian disebut sebagai "filsafat ilmu" yang diajarkan dalam ruang lingkup pembahasan filsafat. Oleh karena itu, filsafat yang mencakup ilmu-ilmu saat itu merupakan simpulan dari ilmu-ilmu alam dan matematika, yakni capaian-capaian ilmu itu yang dibentuk dalam kerangka universal lantas dinamakan dengan "filsafat" dan kemudian filsafat dengan makna pengenalan universal yang meliputi seluruh eksistensi menjadi tertolak.
JENIS-JENIS KERAGUAN DAN KEYAKINAN
Setiap manusia memiliki keyakinan dalam beberapa perkara dan pada sebagian persoalan mengalami keraguan dan bimbang, misalnya seseorang mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri dan pada keberadaan alam sekitarnya serta perasaan-perasaannya, namun mengalami keraguan dan kebimbangan terhadap berbagai perkara-perkara. Setiap manusia mungkin mengalami perbedaan dalam kualitas keyakinan dan keraguan, walaupun terdapat perkara yang tak diragukan oleh satu individu pun, namun manusia akan mengalami keraguan yang nyata dalam bagian-bagian tertentu dari perkara tersebut. Faktor-faktor perbedaan pada manusia dalam derajat keraguan dan keyakinan terkadang bersumber dari masalah kejiwaan, aspek internal manusia, dan pemikiran. Maka dari itu, keyakinan dan keraguan dapat dibagi berdasarkan faktor-faktor yang melatar belakanginya dan perkara-perkara yang berhubungan dengannya serta kualitas kejiwaan setiap manusia.
a. Jenis-jenis keraguan
Keraguan-keraguan itu bisa dibagi berdasarkan objek, subjek, dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Di bawah ini akan disebutkan beberapa macam keraguan-keraguan yang terpenting:
1. Keraguan mutlak dan relatif. Apabila manusia ragu terhadap semua persoalan bahkan pada dirinya sendiri, maka hal seperti ini disebut dengan keraguan mutlak. Selain dari hal ini dinamakan dengan keraguan relatif;
2. Keraguan psikis, pertanyaan, dan kondisional. Keraguan bisa hadir karena kondisi kejiwaan seseorang dan juga sangat mungkin muncul karena pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan logika serta kondisi-kondisi zaman, seperti pada zaman Renaissance yang terjadi di Barat dimana telah menghadirkan berbagai keraguan-keraguan tertentu;
3. Keraguan ilmiah, filosofis, dan umum. Keraguan global bisa menimpa banyak orang seperti keraguan terhadap kejadian-kejadian yang dikatakan hadir dalam sejarah manusia. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan filosofis sangat sarat memunculkan keraguan-keraguan, seperti keraguan sebagian filosof berkenaan dengan gerak dan yang semacamnya;
4. Keraguan yang merusak dan membangun. Keraguan dapat dibagi menjadi demikian dengan berdasarkan pengaruh dan efeknya yang positif dan negatif. Keraguan yang berimbas pada rukun-rukun penting keagamaan dan asas-asas akhlak adalah jenis keraguan yang merusak, sementara keraguan yang menyentuh wilayah penelitian ilmiah dan pengetahuan manusia merupakan bentuk keraguan yang membangun;
5. Keraguan fundamental dan struktural. Keraguan bisa menjadi dasar bagi hadirnya keraguan-keraguan yang lain. Keraguan dalam ranah aksioma-aksioma dan asas-asas global disebut dengan keraguan fundamental, sementara keraguan yang hadir dalam domain dan wilayah permasalahan-permasalahan ilmiah dan teoritis dinamakan dengan keraguan struktural;
6. Keraguan ontologis dan epistemologis. Keraguan dalam ranah hakikat-hakikat eksistensi dan perkara-perkara wujud disebut dengan keraguan ontologis. Dan keraguan yang berhubungan dengan kemungkinan pencapaian sebuah keyakinan, ilmu, dan pengetahuan dinamakan keraguan epistemologis;
7. Keraguan yang dikehendaki dan yang dipaksakan. Apabila seseorang secara sadar dan sengaja meragukan sesuatu supaya menggapai suatu keyakinan yang lebih tinggi atau ingin menjadi seorang peneliti, maka keraguannya tersebut dinamakan keraguan yang dikehendaki. Jika tidak demikian, yakni dia terpaksa dan diluar kehendaknya melakukan suatu penelitian atas suatu perkara yang meragukannya, maka hal seperti ini digolongkan sebagai keraguan yang dipaksakan.

b. Macam-macam keyakinan
Keyakinan juga dapat memiliki varian-varian yang didasarkan oleh faktor-faktor tertentu, kondisi-kondisi internal individu, dan perkara-perkara lainnya, antara lain:
1. Keyakinan logikal dan non-logikal. Keyakinan yang sama sekali tidak terdapat keraguan di dalamnya atau keyakinan yang memuncak disebut dengan keyakinan logikal. Keyakinan yang masih menyisakan bentuk-bentuk keraguan merupakan suatu keyakinan yang non-logikal;
2. Keyakinan hakiki dan non-hakiki (merasa mengetahui). Kalau keyakinan itu bersesuaian dengan realitas maka dinamakan keyakinan hakiki dan logikal. Apabila tidak demikian, maka dikategorikan ke dalam bentuk keyakinan yang non-hakiki;
3. 'Ilm al-yaqin, 'ain al-yaqin, haqq al-yaqin. Keyakinan pertama berhubungan dengan pengetahuan universal dan teoritis. Dan keyakinan kedua berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan intuitif dan penyaksian (musyahadah) hakikat-hakikat segala sesuatu. Serta keyakinan ketiga merupakan keyakinan yang tertinggi dimana tidak terdapat jarak lagi antara subjek yang mengetahui ('alim) dan objek yang diketahui (ma'lum dan hakikat-hakikat sesuatu), atau dengan ungkapan lain, terwujudnya kesatuan eksistensial antara 'alim dan ma'lum;
4. Keyakinan orang awam, para filosof, dan urafa. Keyakinan-keyakinan ini bertingkat-tingkat dalam kualitas sesuai dengan landasan dan dasar pengetahuan-pengetahuan mereka;
5. Keyakinan taklidi dan ijtihadi. Keyakinan yang dihasilkan dari mengikuti dan taklid pada seseorang yang dipercayai disebut dengan keyakinan taklidi. Sementara keyakinan yang digapai dari proses-proses usaha dan aktivitas observasi individual dinamakan dengan keyakinan ijtihadi;
6. Keyakinan ontologis dan epistemologis. Keyakinan ontologis adalah suatu keyakinan yang berhubungan dengan eksistensi dan realitas alam wujud, sementara keyakinan epistemologis merupakan sejenis keyakinan yang berkaitan dengan proses pencapaian dan penggapain suatu pengetahuan dan makrifat yang sesuai dengan realitas dan hakikat sesuatu;
7. Keyakinan indrawi, rasional, intuitif, dan tekstual. Tingkatan-tingkatan yang terdapat pada keyakinan-keyakinan seperti ini sangat ditentukan oleh media-media dan alat-alat yang menjadi sumber dan asal keyakinan dan pengetahuan itu.

II.2 ANALISA MASALAH

II.2.a SKEPTISISME DALAM HUBUNGANNYA DENGAN ILMU PENGETAHUAN

Upaya dan usaha semua manusia dan khususnya para ilmuan dalam menyingkap hakikat-hakikat segala sesuatu merupakan ciri dan pertanda bahwa manusia yang berakal sehat (bukan para sofis dan skeptis) mempercayai dan meyakini bahwa terdapat sesuatu yang diketahui dan terdapat pula sesuatu bisa diketahui. Dan apa-apa yang mungkin untuk diketahui kemudian dijadikan subjek dan ranah pembahasan dan pengkajian . Domain penyingkapan hakikat dan sejauh mana serta pada wilayah mana saja manusia dapat menggapai pengetahuandan keyakinan. Begitu pula dalam wilayah mana manusia tidak memiliki kemungkinan untuk dapat memahami dan mengetahui, seperti kemustahilan dan ketidakmampuan manusia menyingkap dan mengungkap hakikat zat Sang Pencipta.
Baik dalam filsafat Barat maupun dalam filsafat Islam akan diperhadapkan dengan beberapa keraguan dan kritikan dimana salah satu yang terpenting adalah keraguan terhadap probabilitas dan kemungkinan pencapaian ilmu dan pengetahuan. Yang pasti dalam filsafat Barat keraguan semacam itu sangatlah kental dan bahkan telah melahirkan beberapa aliran yang secara terang-terangan mendukung pemikiran semacam itu. Realitas ini sedikit berbeda dalam filsafat Islam dimana hal tersebut hanyalah sebatas sebuah kritikan dimana para filosof Muslim telah mencarikan solusi yang tepat dan jawaban yang proporsional. Kritikan ini dapat dilihat dalam perjalanan pemikiran Al-Gazali dimana awalnya mengalami semacam keraguan dan melontarkan berbagai kritikan pada unsur-unsur pemikiran filsafat Islam, namun pada akhirnya dia mencapai suatu keyakinan baru dan berhasil keluar dari kemelut pemikiran.
Berikut ini kita berusaha akan membeberkan segala keraguan dan kritikan yang ada dan kemudian mencarikan jawaban dan solusinya. Keraguan yang dilontarkan oleh kaum sofis dalam ranah makrifat dan keyakinan memiliki dua bentuk:
1. Kemampuan akal dalam menggapai hakikat sesuatu;
2. Berkaitan dengan sebagian pengenalan-pengenalan manusia.
Keraguan dalam bentuk pertama dapat dijabarkan secara universal sebagai berikut:
1. Alat dan sumber pengetahuan, keyakinan, ilmu, dan makrifat manusia adalah indra dan akal;
2. Indra dan akal manusia rentan dengan kesalahan, karena kesalahan penglihatan, pendengaran, dan rasa itu tidak dapat dipungkiri dan juga tidak tertutup bagi seseorang mengenai kontradiksi-kontradiksi akal serta beberapa kekeliruannya. Dalam banyak kasus di sepanjang sejarah, kita menyaksikan dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi akal telah dibangun, namun seiring berlalunya waktu secara bertahap dalil dan argumentasi tersebut satu persatu menjadi batal;
3. Kesalahan dan kekeliruan kedua sumber pengetahuan dan makrifat tersebut dalam beberapa hal tidaklah nampak, akan tetapi tetap saja tidak dapat dijadikan landasan dan tertolak;

Dengan demikian, berdasarkan ketiga pendahuluan di atas yakni pengetahuan dan makrifat manusia yang dihasilkan lewat jalur indra dan akal adalah tidak dapat dijadikan pijakan dan karena manusia hanya mempunyai dua jalur dan sumber pengetahuan ini maka sangatlah logis apabila manusia meragukan apa-apa yang dipahami dan diyakininya tersebut serta sekaligus mengetahui bahwa mereka mustahil mencapai suatu keyakian dan pengetahuan yang hakiki. Atau keraguan itu bisa dipaparkan dalam bentuk ini bahwa senantiasa terdapat jarak antara manusia dan realitas atau gambaran-gambaran pikiran dan persepsi-persepsinya itu, dan pikiran manusia, sebagaimana kaca mata, merupakan hijab yang membatasinya dengan realitas eksternal, dengan demikian, tidak akan pernah manusia menyaksikan dan mengetahui realitas dan kenyataan eksternal itu sebagaimana adanya. Kesimpulannya, kita tidak bisa benar-benar yakin bahwa realitas dan objek eksternal itu diketahui dan dipahami sebagaimana mestinya, karena mungkin saja pikiran kita telah ikut campur dalam mewarnai pemahaman dan pengetahuan tersebut dimana hal ini sebagaimana kaca mata yang berwarna telah ikut berpengaruh dalam penampakan objek-objek yang kita saksikan. Oleh karena itu, mustahil menggapai suatu keyakinan dan pengetahuan yang sebagaimana hakikatnya.
Keraguan bentuk kedua berhubungan dengan keraguan dalam aksioma-aksioma dan dasar-dasar pengetahuan. Dalam hal ini para filosof berupaya mengajukan berbagai solusi dan jawaban.
Keraguan-keraguan yang terlontarkan dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
1. Indra melakukan kesalahan dan kekeliruan, sedangkan segala sesuatu yang salah dan keliru tidak dapat dijadikan pijakan, sementara mayoritas pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari indra dan empirisitas;
2. Dalam banyak permasalahan manusia berargumentasi dan berdalil dengan akal dan rasionya, akan tetapi setelah berlalunya waktu nampaklah berbagai kesalahan-kesalahan argumentasi rasional itu. Oleh karena itu, kita tidak dapat bersandar pada argumentasi dan burhan akal, pada saat yang sama kita menyaksikan bahwa begitu banyak pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari akal.
3. Keberadaan perkara-perkara yang saling kontradiksi dan bertolak belakang satu sama lain dalam pemikiran-pemikiran manusia telah menyebabkan hadirnya sejenis keraguan dan ketidakpercayaan pada salah sumber pengetahuan dan makrifat yakni akal dan rasio;
4. Perbedaan yang nyata di antara para filosofdan pemikir dalam wilayah pemikiran dan keilmuan telah menunjukkan bahwa upaya pencapaian suatu pengetahuan dan makrifat hakiki adalah hal yang sangat sulit atau hampir-hampir mustahil;
5. Keberadaan argumen-argumen yang sempurna dan dapat diterima pada dua persoalan yang saling kontradiksi dan berbenturan satu sama lain telah menampakkan kepada kita bahwa segala argumentasi akal tidaklah nyata dan hakiki;
6. Apabila cukup dengan keyakinan akal bahwa sesuatu itu ialah aksioma, maka hal ini bisa diajukan suatu kritikan bahwa akal meyakini suatu perkara yang secara potensial mengandung kesalahan, oleh karena itu, tidak mesti mempercayai perkara itu karena sama sekali tidak berpijak pada tolok ukur. Dengan demikian, keyakinan akal dalam aksioma-aksioma tidak valid;
7. Manusia dalam keadaan tidur menyaksikan seluruh perkara itu nampak secara nyata dan hakiki, akan tetapi setelah terbangun dia kemudian memahami bahwa semua yang disaksikan tersebut hanyalah suatu hayalan dan mimpi. Maka dari itu, bagaimana kita bisa meyakini bahwa kita sekarang ini tidak dalam keadan tidur dan berhayal serta apa-apa yang kita saksikan tersebut bukanlah suatu mimpi belaka;
8. Manusia-manusia yang berpenyakit dan gila menyangka bahwa perkara-perkara yang tidak riil itu adalah perkara-perkara yang nyata dan hakiki. Dengan demikian, bagaimana kita dapat mempercayai bahwa kita tidak sementara terjangkit suatu penyakit tertentu atau sedang mengalami suatu kesalahan dalam sistem pemikiran dan kontemplasi;
9. Akal mampu menampakkan kesalahan dan kekeliruan indra, namun apakah kita yakin bahwa tidak terdapat sesuatu atau perkara lain yang dapat menunjukkan secara jelas kesalahan dan kekeliruan akal itu?
10. Jumlah aksioma-aksioma itu sangatlah terbatas dan semuanya berpijak pada satu proposisi yakni "kemustahilan bergabungnya dua perkara yang saling berlawanan". Proposisi ini bersandar pada konsepsi tentang ketiadaan dan kemustahilan yang terdapat dalam proposisi itu (kemustahilan bergabungnya …) dimana akal tidak mampu memahaminya, karena kemustahilan itu sendiri tidak mempunyai individu-individu dan objek-objek eksternal;
11. Keragaman dan perbedaan dalam karakteristik dan potensi setiap individu, lingkungan dan ekosistemnya, dan budaya-budayanya telah menyebabkan munculnya berbagai persepsi-persepsi dan pandangan-pandangan yang juga beragam;
12. Menyingkap sesuatu yang tidak diketahui adalah hal yang mustahil, mengungkap suatu hakikat merupakan hal yang tak mungkin, karena hakikat itu tak diketahui;
13. Pengetahuan hudhuri dipandang sebagai pengetahuan yang paling tinggi dan sempurna. Pengetahuan kepada diri sendiri adalah bersifat hudhuri, sementara semua orang tidak bisa mengetahui "hakikat diri sendiri" dan tidak mampu menyelami esensi "pengetahuan kepada diri sendiri" itu. Dengan demikian, kita pun tidak mungkin mengetahui segala sesuatu selain "diri kita sendiri";
14. Pencapaian konsepsi-konsepsi di luar dari batas iradah dan kehendak kita, karena hal ini menyebabkan kita mengetahui sesuatu yang telah kita ketahui sebelumnya atau mengetahui sesuatu yang mutlak tidak diketahui, kedua konsekuensi ini adalah batil. Dengan demikian, pembenaran sesuatu yang aksioma adalah mustahil, oleh karena itu, tertutup jalan untuk meraih keyakinan;
15. Semakin kita menyelami realitas dan hakikat sesuatu maka yang dihasilkan tidak lain hanyalah persepsi itu sendiri. Oleh karena itu, yang bisa ditegaskan hanyalah "diri kita" dan "persepsi kita", inilah makna dari suatu pernyataan bahwa "satu-satunya realitas eksternal yang kita miliki" tidak lain adalah persepsi itu sendiri;
16. Apabila pengetahuan dan makrifat manusia bersifat penyingkapan dan pencerminan terhadap objek-objek eksternal, maka tidak mungkin terdapat kesalahan;
17. Manusia di awal kelahirannya sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan jahil terhadap aksioma-aksioma. Oleh karena itu, aksioma-aksioma tersebut dihasilkan oleh manusia setelah berinteraksi secara luas dengan alam dan lingkungannya, aksioma bukanlah merupakan fitrah dan pembawaan alami manusia.[8]

Sementara keraguan-keraguan yang muncul dalam tradisi filsafat Barat antara lain:
1. Indra dan akal melakukan kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu tidak dapat dijadikan landansan;
2. Terdapat kontradiksi-kontradiksi antara akal itu sendiri dan manusia yang berakal dalam wacana filsafat;
3. Menegaskan setiap sesuatu niscaya membutuhkan serangkaian dasar-dasar, dan membuktikan dasar-dasar itu mesti memerlukan pendahuluan-pendahuluan, demikianlah seterusnya hingga tak terbatas. Konklusinya, perolehan makrifat dan pengetahuan ialah hal yang tak mungkin;
4. Metode induksi tidak menghasilkan suatu keyakinan;
5. Adanya perbedaan riil pada indra-indra manusia serta perbedaan persepsi di antara indra-indra itu, perbedaan di antara manusia-manusia dari dimensi tubuh dan jiwa, pertentangan indra-indra, perbedaan syarat-syarat yang menyebabkan pula lahirnya perbedaan pada persepsi-persepsi indrawi, perbedaan benda-benda dari dimensi jarak dan tempat, perbedaan benda-benda dari aspek horizontal yakni benda satu di atas dan benda yang lain di bawah, dan perbedaan hukum-hukum adab dan etika. Kesemua perbedaan tersebut berkonsekuensi bahwa tak satupun ilmu dan makrifat dapat dihasilkan;
6. Fenomena-fenomena akibat (ma'lul) dan tanda-tanda sebab ('illah) tidaklah tersembunyi, karena semua manusia menyaksikan bahwa fenomena-fenomena itu adalah sama, akan tetapi, terdapat perbedaan dan keragaman dalam penentuan sebab-sebabnya;
7. Apakah kita benar-benar yakin bahwa tidak dalam keadaan tidur dan bermimpi;
8. Adanya kemungkinan kita ditipu oleh setan;
9. Proposisi yang berbunyi, "A ada", yakni "Saya mengetahui keberadaan A itu", dengan demikian, selain "saya" dan persepsi-persepsi "saya" adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan keberadaanya;
10. Tidak terdapat perbedaan antara "kualitas pertama" dan "kualitas kedua", sebagaimana "kualitas pertama" seperti warna dan bau adalah tidak hakiki, begitu pula "kualitas kedua" seperti panjang dan bentuk adalah juga tidak hakiki;
11. Prinsip kausalitas itu merupakan buatan pikiran semata, karena konsepsi-konsepsinya bersumber dari pikiran yang tidak diperoleh lewat indra-indra yang lima itu;
12. Pikiran manusia sama seperti kaca mata, atau fungsinya menimal sama dengan kaca mata. Oleh karena itu, tak satupun dari persepsi-persepsi yang dapat dipercaya;
13. Mungkin pikiran kita sama saja dengan suatu wadah yang menerima dan menyimpan apa saja yang diberikan padanya, maka dari itu, kesalahan persepsi-persepsi tidak semua dapat ditegaskan dan dibuktikan secara nyata.[9]

II.2.b PENGARUH SKEPTISISME DALAM MASALAH PROBABILITAS PENGETAHUAN

Salah satu dalil penting kaum sofis adalah bahwa di antara para pemikir, ilmuan, dan filosof dunia tidak akan pernah disaksikan ada kesamaan secara utuh dalam pemikiran-pemikiran mereka. Kaum sofis dan skeptis yang karena memandang bahwa perolehan pengenalan dan pengetahuan benar adalah tidak mungkin maka salah satu buktinya hadirnya berbagai perbedaan dan kontradiksi di antara para pemikir tersebut, dan apa-apa yang menurut seseorang ialah suatu kenyataan dan hakikat, sangat mungkin bagi orang lain merupakan suatu hayalan kosong atau sebaliknya. Di samping itu mereka menambahkan bahwa konsepsi-konsepsi kita atas dunia luar mengikuti pengaruh-pengaruh indra kita, seperti seseorang yang terjangkit suatu penyakit yang tidak bisa membedakan antara warna hijau dan warna merah atau seseorang yang sama sekali tak dapat mempersepsi warna-warna. Dengan demikian, manusia yang dalam keadaan dan syarat yang berbeda adalah sangat mungkin mempunyai akidah dan pemikiran yang beragam, walhasil segala realitas ini merupakan bukti atas ketidakmungkinan pengetahuan.[16]

Jawaban:
Kesalahan terbesar mereka ialah bahwa mencampuradukkan antara batasan pengetahuan manusia dengan dasar-dasar makrifat. Argumentasi dan dalil mereka sama sekali tidak menafikan masalah kemungkinan pengetahuan dan bahkan mereka sendiri menegaskan keterbatasan makrifat manusia serta menyatakan bahwa terkadang pengetahuan manusia bercampurnya dengan kesalahan. Mereka ini tidak ingin mengingkari keberadaan batu meteor misalnya, tetapi menyatakan bahwa yang hanya ada adalah satu titik terang dimana karena pengaruh kesalahan penglihatan nampaklah sebagai satu garis panjang api. Begitu pula dalam keberadaan air dan derajat tertentu dari panas, menurut mereka, kita tidak keliru, melainkan kesalahan itu dalam menentukan kuantitas panas itu. Sebenarnya, kita pun tidak beranggapan bahwa semua hakikat alam diketahui atau apa-apa yang kita persepsi itu tidak lepas dari kesalahan dan kekeliruan. Tujuan dari penegasan kemungkinan pengetahuan dan makrifat tidaklah dimaksudkan bahwa kita pasti mengetahui semua hakikat, realitas, dan objek-obek eksternal itu secara benar. Dan di sinilah letak kesalahpahaman mereka tentang probabilitas makrifat.
Titik tekan pembahasan bukanlah pada penafian perbedaan pemikiran dan pandangan di antara para pemikir, melainkan bahwa apakah terdapat perkara-perkara di alam eksternal yang semua orang menerimanya dan tak seorang pun mempunyai perbedaan di dalamnya ataukah tidak? Yang jelas dan pasti, begitu banyak orang menerima pengetahuan-pengetahuan akisoma atau persoalan yang sudah lazim dimana tidak ada lagi keraguan dalam kebenarannya, dalam hal ini, manusia tidak boleh memandang secara negatif bahwa seluruh pemikiran dan pengetahuannya sendiri adalah tidak valid dan tidak benar.
Yang menarik di sini adalah beberapa argumentasi yang dilontarkan oleh para peragu atas ketiadaan kemungkinan pengetahuan justru dapat digunakan untuk menghantam balik perspektif mereka sendiri, yakni ketika mereka mengemukakan kesalahan indra-indra lahiriah itu, maka mereka tak sadar telah menegaskan keberadaan sumber pengetahuan lain yaitu akal, karena bagaimana mereka dapat mengetahui bahwa indra-indra lahiriah itu telah melakukan suatu kesalahan pencerapan, yang pasti bahwa sebelumnya kebenaran realitas-realitas itu telah disingkap namun tidak dengan menggunakan indra-indra lahiriah, melainkan dengan daya akal, dan dari akal inilah lantas diketahui kekeliruan yang dihasilkan oleh indra-indra itu.
Misalnya bagaimana kita memahami bahwa batu meteor yang nampak sebagai sebuah garis panjang api itu adalah salah, karena sebelumnya kita telah mengetahui hakikat keberadaan batu meteor itu dengan sumber dan alat pengetahuan lainnya. Dengan demikian, dibalik sebuah kesalahan itu terdapat beberapa pengetahuan dan makrifat yang benar yang kita miliki dan bahkan dengan perantaraan pengetahuan itulah kita kemudian meluruskan suatu kesalahan dan kekeliruan yang kita alami sendiri. Dengan dasar inilah kita bisa menyimpulkan bahwa dalam setiap hukum atas suatu kesalahan merupakan dalil dan bukti keberadaan pengenalan dan pengetahuan yang benar terhadap banyak realitas.
Begitu pula dalam contoh-contoh yang lain dikatakan bahwa pemikiran dan pandangan kita terhadap dunia luar dipengaruhi oleh indra-indra kita. Di sini nampak dengan jelas adanya pengakuan atas suatu pengetahuan dan makrifat yang benar yang dimiliki oleh manusia yang tidak dipengaruhi oleh indra-indra lahiriah itu. Maka dari itu, pada hakikatnya mereka justru menegaskan kemungkinan pengetahuan dan makrifat yang benar tanpa mereka sadari.

d. Dalil kaum sofis atas ketidakvalidan argumentasi akal
Kaum sofis dan skeptis menyatakan bahwa satu-satunya proposisi yang diterima adalah yang kebenarannya telah terbukti dengan burhan dan argumen, namun argumen seperti ini ialah batil dan mustahil serta argumen tersebut pada hakikatnya bukanlah bentuk hakiki dari suatu argumen dan burhan, karena pendahuluan-pendahuluan dari argumen itu akan membutuhkan argumen lain dan mukadimah argumen lain ini pun niscaya memerlukan argumen lain sedemikian sehingga akan membentuk silsilah-silsilah yang tak terbatas (kaidah tasalsul). Namun, apabila pendahuluan argumen itu tak butuh pada argumen yang lain, maka dalam hal ini kita tidak mempunyai suatu argumen apa pun. Kalau dikatakan bahwa terkadang satu argumen berpijak pada suatu mukadimah yang tidak lagi memerlukan suatu argumen lain, maka pernyataan ini hanyalah suatu asumsi yang mesti dibuktikan kebenarannya.[17]

Jawaban:
Kaum ini ketika berargumentasi secara tidak sadar menerima keberadaan argumen-argumen rasional dimana dalil-dalil mereka itu berpijak padanya. Kaum sofis dan skeptis ini layaknya sebagai orang-orang yang memiliki keyakinan atas pemikiran-pemikirannya dan dengan menggunakan dalil-dalil akal dan indra berusaha untuk meruntuhkan kelemahan-kelemahan persepsi manusia dan dengan perantaraan akal mereka melarang manusia untuk bersandar pada akal serta dengan membangun argumen-argumen mereka berusaha untuk melemahkan segala bentuk argumentasi akal, sementara itu kaum ini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi padanya.
Dasar-dasar argumentasi mereka berpijak pada kemustahilan tasalsul dan kaidah yang menyatakan bahwa "sesuatu yang tidak diketahui mustahil menjadi landasan bagi penyelesaian sesuatu lain yang tidak diketahui" serta juga bersandar pada hal-hal yang fitrah yakni tak menerima pandangan yang belum terbukti kebenarannya. Kita saksikan bahwa mereka yang mengkonstruksi suatu argumen dengan dasar-dasar akal dan fitrah itu bagaimana bisa beranggapan bahwa pengetahuan dan makrifat akal dan fitrah sangat tidak layak untuk dipercayai dan dijadikan landasan keyakinan yang benar.
Kritik atas argumentasi-argumentasi mereka adalah bahwa mereka tidak mengetahui batasan antara hal-hal yang "aksioma" dan "fitrawi". Kita memiliki perkara-perkara yang tidak seorangpun meragukannya (kecuali kaum sofis dan skeptis yang walaupun secara lahiriah diingkarinya, namum secara batiniah meyakininya) dan tak memerlukan usaha berpikir untuk menerima kebenarannya seperti dua ditambah dengan dua adalah empat atau dalam waktu dan tempat yang sama ialah mustahil terjadi siang dan juga malam. Dalam perkara-perkara yang aksioma dan badihi ini tidak terdapat kesalahan dan kekeliruan serta sangat diyakini kebenarannya oleh manusia sedemikian sehingga kalau pun didukung oleh beberapa argumentasi yang kokoh maka tidak akan menambah sedikit pun keyakinan manusia akan kebenarannya. Berhadapan dengan ilmu dan pengetahuan aksioma ini, terdapat pengetahuan-pengetahuan teoritis yang memiliki kemungkinan untuk salah dan keliru. Dalam hal ini memang benar apa yang dikatakan mereka bahwa hanyalah proposisi-proposisi teoritis yang akan dipercayai setelah terbukti dengan argumen-argumen, akan tetapi, tidaklah mesti pendahuluan argumen itu juga ditegaskan oleh argumen-argumen lain, bahkan cukuplah mukadimah argumen itu terbentuk dari perkara-perkara yang badihi dan aksioma dimana tidak seorang pun menafikannya. Walhasil, masalah-masalah teoritis dan pemikiran haruslah dianalisa dan diuji kebenarannya dengan argumen-argumen lain sedemikian sehingga berakhir pada suatu pendahuluan dan mukadimah argumen yang hanya memuat perkara-perkara aksioma, dengan demikian, silsilah argumen-argumen niscaya akan berujung dan tidak terjebak ke dalam kemustahilan tasalsul.[18] [www.wisdoms4all.com]

Sabtu, 10 Oktober 2009

Islamisasi Sains

oleh : M. Ihsan Dacholfany

PENDAHULUAN

Upaya menggagas islamisasi sains, dengan demikian dapat dipahami dalam kerangka revolusi sains menurut Thomas Kuhn, yaitu bahwa perkembangan sains dimulai dari krisis paradigma ilmu normal, diikuti oleh pengajuan paradigma baru dan periode pengembangan sains normal berbasis paradigma baru ini, kemudian diikuti oleh krisis lagi dan seterusnya.

Kerangka krisis paradigma sebagai perangkat revolusi atau pembaruan ilmu ini juga harus diberlakukan atas ilmu-ilmu agama yang diklaim telah diturunkan dari Al Qur’an dan Hadits. Penulis harus mengatakan bahwa perubahan paradigmatik yang paling mengundang kontroversi adalah perubahan-perubahan pada khasanah ilmu-ilmu agama karena ini berkaitan dengan dasar-dasar keyakinan manusia. Kata “Tauhid” sebagai cabang ilmu agama, misalnya, adalah sebuah kata asing dalam Al Qur’an, namun diyakini oleh mayoritas muslim dunia sebagai semacam pondasi Islam. Padahal, kata “iman” jauh lebih mendasar dan memiliki rujukan yang jauh lebih banyak dalam Al Qur’an. Akan tetapi, realitas wacana keislaman menunjukkan seolah “tauhid” lebih penting daripada “iman”, seperti tercermin dalam istilah “tauhid sosial”, misalnya. Makalah pendek ini akan mencoba menggagas aspek-aspek epistemologi sains baru ini.

Upaya melakukan kritik terhadap ilmu-ilmu agama ini bukanlah hal yang baru, bahkan telah dilakukan oleh pujangga besar Sir Muhammad Iqbal dalam disertasinya di awal abad 20 dalam “The Reconstruction of Islamic Thoughts”.

Upaya-upaya membangun kembali sains telah dicoba dimulai melalui upaya-upaya “islamisasi sains” oleh Sir Naquib Allatas pada awal 1970-an, dan diwujudkan dalam sebuah institusi pendidikan, yaitu Universitas Islam Internasional di Kuala Lumpur pada awal tahun 1980-an yang disponsori oleh Organisasi Konferensi Islam. Kelahiran beberapa UIN dari eks IAIN di Indonesia sedikit banyak mencerminkan upaya islamisasi sains ini. Sekalipun “islamisasi sains” mungkin kontroversial, penulis memahaminya sebagai upaya membangun sains baru ini.

Mudah-mudahan makalah ini dapat menjadikan kajian bersama dalam memahami sains menurut konsep Islam dengan kenyataan kehidupan sekarang ini.

SAINS

Secara sederhana sains merupakan tubuh pengetahuan (body of knowledge), Pengertian itu muncul penemuan ilmiah yang dikelompokkan secara sistematis.Sains juga dapat berupa produk. Produk yang dimaksud adalah fakta-fakta, prinsip-prinsip, model-model, hukum-hukum alam, dll. Sains juga dapat berarti suatu metoda khusus untuk memecahkan masalah, atau biasa disebut sains sebagai proses. Sains sebagai proses dapat berupa metoda ilmiah merupakan hal yang sangat menentukan pembuktian suatu kebenaran yang objektif. Sains sebagai proses yang dilakukan melalu metoda ilmiah ini, terbukti ampuh memecahkan masalah ilmiah sehingga membuat sains terus berkembang dan merevisi berbagai pengetahuan yang sudah ada.

Selain itu sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau hal baru yang dapat menghasilkan suatu produk. Produk tersebut biasa disebut dengan teknologi. Teknologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains, suatu konsekwensi logis dari sains yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu.

Sumbangan konsep dan ide dalam sains terbukti telah banyak mengubah pandangan manusia terhadap alam sekitarnya. Contoh-contoh sumbangan konsep dan ide sains diantaranya :

  1. Teori Relativitas Einstein. Teori relativitas umum ini misalnya telah mengubah pandangan orang secara drastis akan sifat kepastian waktu serta sifat massa yang dianggap tetap.
  2. Pengamatan bintang-bintang oleh Edwin Hubble melalui teleskop di Gunung Wilson pada tahun 1920-an misalnya, membawa beberapa implikasi seperti adanya galaksi lain selain Bimasakti dan adanya penciptaan alam semesta secara ilmiah dengan makin populernya teori ledakan besar (Big Bang).
  3. Teori grafitasi Newton yang dapat membuktikan bahwa planet berputar pada porosnya dan bergerak mengelilingi matahari pada lintasan tertentu.

Teori-teori dalam sains terus berkembang dengan pesatnya, menggantikan berbagai teori yang ternyata terbukti salah setelah melalui konfirmasi percobaan ataupun memperbaiki dan melengkapi teori yang telah ada sebelumnya. Suatu teori adalah suatu konstruksi yang biasanya dibuat secara logis dan matematis yang bertujuan untuk menjelaskan fakta ilmiah tentang alam sebagai mana adanya. Suatu teori yang baik harus mempunyai syarat lain selain dapat menjelaskan, yaitu dapat memberikan adanya prediksi.

Dari ketiga contoh di atas kadang manusia lupa , siapa yang menciptakan ruang, masa dan waktu yang disampaikan Einstein tersebut ?. Siapa yang menciptakan bintang dan benda-benda langit lainnya yang diamati Hubble ?. Dan siapakan yang menciptakan gravitasi dengan bumi planet lainnya yang diamati Newton ?. Melupakan yang causal itulah yang membuat orang sekuler !

Jadi untuk menghindari sekulerisme tersebut dalam sains diperlukan suatu bimbingan. Dan bimbingan agar manusia tidak takabur adalah agama. Agama tersebut diantaranya adalah Islam.

ISLAMISASI SAINS

Islamisasi sains tidak hanya berarti menyisipkan ayat-ayat suci Al Quran yang sesuai dengan konsep tertentu dalam sains. Tetapi terfokus kepada bagaimana islam sebagai pondamen nilai yang mengikat sains (value bound ). Atau bagaimana pemahaman sains dapat meningkatkan kadar iman dan takwa terhadap sang Kholiq. Jadi penulis membuat istilah Islamisasi Sains ke dalam dua katagori : (1) Islam to Sains; (2) Sains to Islam

Dasar pemikiran tersebut berangkat dari lima ayat dalam Surat Al-Alaq ; Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5). Lima ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca ayat quraniyah. Terkandung di dalamnya dorongan untuk membaca ayat-ayat kauniyah di alam. Manusia pun dianugerahi kemampuan analisis untuk mengurai rahasia di balik semua fenomena alam. Kompilasi pengetahuan itu kemudian didokumentasi dan disebarkan melalui tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini akhirnya melahirkan sains. Ada astronomi, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.

Mari kita kaji kedua katagori tersebut ke dalam contoh berikut :

Teori klasik menyatakan alam ini terdiri dari empat unsur yaitu tanah, udara, api dan air. Mari kita analisa, disadari atau tidak oleh kita, isyarat itu mewarnai apa yang kita pelajari tetang alam ini; Mengapa daratan dibuat dengan ketinggian yang berbeda, tentunya agar air dapat mengalir melewati sungai, sehingga memberi kehidupan pada makhluk yang dilewatinya. Demikian juga dengan tekanan dan suhu udara. Tekanan dan suhu udara dibuat berbeda-beda di setiap lapisan (atmosfer) dan di setiap tempat. Hal itu menyebabkan timbulnya angin. Dan angin dapat menimbulkan perubahan cuaca, salah satunya dapat menimbulkan hujan. Hujan dapat menyuplai air ke permukaan bumi, dimana air merupakan sumber kebutuhan utama bagi kehidupan manusia.

Marilah kita renungkan, baik fenomena alam yang terjadi disekitar kita, maupun aktivitas yang kita lakukan sehari-hari. Berapakah ketinggian gunung, kedalaman laut, tekanan udara, kelajuan angin dan banyak lagi penomena alam lainya. Demikian juga keadaan fisik dan aktivitas yang kita lakukan. Berapakah berat badan kita, tinggi badan kita, suhu badan kita, lama hidup kita di dunia, dan banyak hal lain lagi yang dapat dianalisa sebagai bahan renungan kita terhadap kebesaran yang maha kuasa.

Oleh karena itu, kita ”wajib” meyakini bahwa bukan kita manusia, hewan atau tumbuhan yang telah menciptakan benda dengan berbagai ukuran, tetapi ”Allahlah” yang telah menciptakannya seperti apa yang diisyaratkan oleh Allah dalam Quran Surat Al Qomar ayat 49, Yang artinya : Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.

Besaran-besaran yang dapat diukur itu merupakan besaran fisika atau biasa disebut dengan besaran fisis. Allah telah menciptakan ; ketinggian, suhu, tekanan, kelajuan, berat, waktu dan banyak lagi besaran fisika lainnya. Semuanya diciptakan Allah memiliki ukuran tertentu yang dinyatakan dalam satuan ukur.

Dari salah satu contoh sains di atas, maka dari esensinya, sains sudah Islami. Hukum hukum yang digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah. Pembuktian teori-teori sains pun dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusia. Dalam sains, kesalahan analisis dimaklumi, tetapi kebohongan adalah bencana.

Contoh lain adalah kekeliruan analisis terhadap hukum kekekalan massa dan energi. Massa tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat berubah ke dalam bentuk lain. Hukum konservasi massa dan energi ini dinilai menentang tauhid Padahal, hukum ini adalah hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan, alam dan manusia hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?

Jadi, Islamisasi sains bukan menempatkan Ayat Alquran sebagai alat analisis sains. Dalam sains, rujukan yang dipakai mesti dapat dipahami siapa pun tanpa memandang sistem nilai atau agamanya. Tidak ada sains Islam dan sains non-Islam, yang ada saintis Muslim dan saintis non-Muslim. Pada merekalah sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam tulisan populer atau semi-ilmiah. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Maka, riset saintis Muslim berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta hanya karena-Nya pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan riset yang menyingkap mata rantai rahasia alam disyukuri bukan dengan berbangga diri, melainkan dengan ungkapan “Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa”. Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia (Q. S. 3:191).
Uraian di atas menunjukan Islam to sains, yaitu riset saintis muslim yang berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam semesta, dan keyakinan itu bersumber dari Al Quran dan Al Hadits. Sekarang bagaimanakah memahami Sains to Islam ?. Marilah kita mulai dengan sebuah contoh !

Apa yang ada dalam benak pikiran kita tentang api ? Api adalah panas, api adalah terang atau berwarna. Api adalah panas dan panas adalah kalor dan kalor berhubungan dengan suhu / temperature (T). Warna apa sajakah yang kita lihat dari api ? merah, kuning, hijau, biru dll. Warna adalah gelombang dan gelombang berhubungan dengan panjang gelombang/ lamda (λ). Panas manakah api merah dan api biru ? besar manakah panjang gelombang merah dan panjang gelombang biru ?. Hubungan antara panjang gelombang dengan suhu merupakan sebuah teori dan fakta yang biasa disebut dengan konsep. Dan konsep merupakan sains. Lalu apa yang merupakan sumber dari api ? mengapa api panas ? dan siapa yang menciptakan warna ?.

Dari pemahaman konsep sains tersebut dapat menggiring manusia kepada keyakinan bahwa segala sesuatu ada yang menciptakan yaitu Allah SWT. Jadi Sains to Islam suatu keyakinan terhadap Allah berdasarkan analisis terhadap bukti yang diciptakan-Nya. Dan analisis terhadap bukti yang diciptakaNya dapat dilakukan dengan suatu metode, dan metode tersebut adalah metode ilmiah, sebagai contoh :

Dalam tulisan ini diajukan sebuah paradigma sains alternatif. Untuk tujuan ini harus dikatakan, bahwa kata “iman” dan beragam bentuk turunannya amat banyak dibicarakan dalam al Qur’an, sehingga sesungguhnya lebih layak dipakai sebagai basis sains daripada kata “tauhid” yang sama sekali tidak dipakai dalam Al Qur’an. Bahkan jibril seolah membagi Al Qur’an ke dalam sebuah sistematika tertentu, yaitu iman, islam, ihsan, dan sa-ah.

Al Qur’an harus dipandang sebagai kerangka sistem aksiomatika ilmu -terutama ilmu sosial- karena tidak ada keraguan di dalamnya (la rayba fii hi), bahkan memberi penjelasan atas segala sesuatu (tibyaanan li kulli syai’in). Al Quran tersusun oleh kerangka teoretik ilmu-ilmu sosial (ayat-ayat muhkamaat), sedangkan lainnya merupakan penjelasan kerangka teori ilmu-ilmu sosial tersebut yang disajikan melalui perumpamaan-perumpamaan astronomi, biologi, fisika, dsb. (ayat-ayat mutasyaabihaat). Jadi, perbedaan antara muhkamat dan mutasyabihat adalah perbedaan antara isi/kandungan dengan bungkus/kandang, bukan anatara ayat yang jelas dan yang tidak jelas. Sebab jika hal ini menyangkut ayat-ayat yang jelas dan tidak jelas, kedudukan Al Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup tidak bisa lagi dipertahankan.

Al Qur’an sendiri mengajukan definisi sains, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Ar-Rachman. Lima ayat pertama surat Ar Rachman memberi definisi sains alternatif, yaitu saat mendefinisikan al bayyan sebagai rangkaian informasi dari Allah swt. tentang astronomi, biologi, dan kehidupan sosial. Model kognitif atau metodologi sains alternatif bisa dirumuskan dengan memperhatikan surat Yunus : 5 yang menggambarkan metodologi sains ini melalui perumpaman astronomi. Jika realisme dan naturalisme dapat diibaratkan sebagai sebuah metode gerhana bulan (moon eclipse) , dan idealisme sebagai gerhana matahari (sun eclipse), maka metodologi alternatif ini adalah metode non-gerhana. Jika bulan melambangkan manusia, bumi melambangkan alam, dan matahari melambangkan Sang Pencipta, maka gerhana bulan menggambarkan penyembahan manusia atas alam semesta, sedangkan gerhana matahari menggambarkan penuhanan manusia atas dirinya sendiri.

Penuhanan diri sendiri yang sering dilakukan oleh para pemimpin agama gadungan digambarkan Qur’an melalui upaya-upaya kadzdzaba, yaitu “yaktubuuna al kitaaba bi aydii-him, tsumma yaquluuna haadza min ‘indillah, liyastaruu bihi tsmanan qaliilan”. Sementara penuhanan pada alam dilakukan oleh para saintis melalui proses-proses “pencurian” ilmu (tawallay), dengan mengatakan “penemuanku” daripada mengatakan “sunnatullah”.

PERLUKAH ISLAMISASI SAINS ?

Sebenarnya, perlukah Islamisasi sains ? Dari uraian di atas sudah jelas, maka untuk memperjelas atas jawaban tersebut dengan kita kaji lima ayat ini. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5). Lima ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca ayat quraniyah. Terkandung di dalamnya dorongan untuk membaca ayat-ayat kauniyah di alam. Manusia pun dianugerahi kemampuan analisis untuk mengurai rahasia di balik semua fenomena alam. Kompilasi pengetahuan itu kemudian didokumentasi dan disebarkan melalui tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini akhirnya melahirkan sains. Ada astronomi, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.

Maka dari esensinya, sains sudah Islami, Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah. Pembuktian teori-teori sains pun dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusia. Dalam sains, kesalahan analisis dimaklumi, tetapi kebohongan adalah bencana. Al Faruqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi Sains atau Ilmu, yaitu:

  1. Menguasai disiplin-disiplin modern
  2. Menguasai khazanah Islam
  3. Menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern
  4. Mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan Khazanah ilmu pengetahuan modern.
  5. Mmengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.

Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru sering disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira bertentangan dengan prinsip tauhid. Padahal itu hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?

Demikian juga tetap Islami sains yang menghasilkan teknologi kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang atau manusia memperoleh keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. Teori evolusi dalam konteks tinjauan aslinya dalam sains, juga Islami bila didukung bukti saintifik. Semua prosesnya mengikuti sunnatullah, yang tanpa kekuasaan Allah semuanya tak mungkin terwujud.

Jadi, Islamisasi sains kurang tepat. Menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai rujukan, yang sering dianggap salah satu bentuk Islamisasi sains, juga bukan pada tempatnya. Dalam sains, rujukan yang digunakan semestinya dapat diterima semua orang, tanpa memandang sistem nilai yang dianutnya. Tegasnya, tidak ada sains Islam dan sains non-Islam.

Hal yang pasti ada hanyalah saintis Islam dan saintis non-Islam. Dalam hal ini sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau semi-ilmiah.

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Maka, riset saintis Islam berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta hanya karena-Nya pokok pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan riset yang menyingkapkan satu mata rantai rahasia alam semestinya disyukurinya dengan ungkapan “Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa, Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia” (Q. S. 3:191), bukan ungkapan bangga diri.

Apakah ide Islamisasi Sains Mendesak ?

  1. Sebab Ilmu yang rusak, adalah sumber dari kerusakan, dari ilmu yang rusak, lahir pula ilmuwan atau saintis yang rusak, bahkan ulama yang rusak, padahal tujuan ilmu mengantarkan manusia tidak syirik, melahirkan kebahagiaan dan peradaban yang maju
  2. Imam Al-Ghazali dalam Ihya ’ Ulumuddin : Rakyat yang rusak gara-gara penguasa / Pemimpin yang rusak dan penguasa rusak, gara-gara ulama yang rusak dan ulama rusak terjangkit penyakit “Hubbu dunya (Cinta Dunia)

KESIMPULAN

Dalam rangka keluar dari krisis manusia modern sebagai krisis ilmu ini, ummat Islam perlu bekerja keras untuk membangun kerangka paradigmatik sains alternatif, dengan ciri pokok sebagai berikut :

  1. Menjadikan Al Qur’an sebagai sebuah sistem aksiomatika sains sosial (sunnaturasul).
  2. Sains alam (ayat-ayat mutasyabihaat) menyediakan data-data penjelasan bagi sains sosial (ayat-ayat muhkamaat) –sosiologi, ekonomi, politik, sejarah. Sains sosial berada dalam hirarki ilmu yang lebih tinggi daripada sains alam.
  3. Ilmu dikembangkan dengan model kognitif atau metodologi non-gerhana, sebut saja metode “ibda’ bismillah wa akhir ha bil hamdulillah) di mana Allah swt sebagai wakil, manusia sebagai mutawakkil, dan alam sebagai ladang pengabdian manusia pada Allah swt yang senantiasa dilakukan “dengan asma Allah (bi-ismi-Allah), dan diakhiri dengan “sikap menyanjung kehidupan menurut ilmu Allah (al-hamdulillah)”.

PENUTUP

Terlepas dari perdebatan tentang perlu tidaknya Islamisasi Sains atau bagi yang mengganggap perlu kemudian juga berdebat tentang pengertian dan metode Islamisasi tersebut, adalah sungguh menarik kita melihat perkembangan pemikiran tersebut. Tradisi berfikir ilmiah, realistis sekaligus idealis, namun tidak ‘jauh’jauh’ dari wahyu ini tentu saja perlu untuk menjadi contoh bagi perkembangan intelektualitas ummat selanjutnya. Gambaran tokoh-tokoh di atas yang dalam kurun dua dasawarsa telah menyumbangkan sebuah ‘pentas’ perdebatan yang tak jarang meninggalkan dokumen otektik berupa buku, makalah atau dokumentasi lainnya kemudian mungkin meninggal kan sebuah pertanyaan. Mungkinkah upaya ini masih banyak dibaca oleh generasi selanjutnya ? Apakah upaya yang menghabiskan waktu, tenaga dan fikiran itu bisa menjadi dasar untuk bangkitnya ilmuan Islam selanjutnya ?

Demikian.Wallahu Alam Bissawab.

DAFTAR PUSTAKA

Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)

Herati Nurhadi dalam M. Sastrapateja dkk., Menguak Mitos-mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis (Jakarta: Gramedia, 1986),

Akbar S. Ahmed, Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, cet. IV, (Bandung: Mizan, 1996),

Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi, Cet. IV,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),

Abdurrahmansyah, Prinsip-prinsip Filosofis Kurikulum Pendidikan Islam (Telaah atas Pemikiran Ismail Raji Al Faruqi), (Yogyakarta: tesis MSI UII, 2000),

Nuim Hidayat, “Bahaya Sekularisasi Pendidikan”, Harian Umum Republika, (25 Maret 2003), Hal. 5, Kolom V.

Ismail Raji Al Faruqi dan Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Moh. Ridzuan Othman et. Al., (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992).

Buku Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Anas Mahyudin, Ilamisasi Pengetahuan, (Bandung: Pustaka, 1995).

Buku ini telah juga telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti, Tauhid, (Bandung, Pustaka, 1982).

Abdurrahmansyah, Prinsip-prinsip Filosofis Kurikulum Pendidikan Islam (Telaah atas Pemikiran Ismail Raji Al Faruqi), (Yogyakarta: tesis MSI UII, 2000), hal. 29.

Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu: Sebuah Respon”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor:4, Vol. III,1992,

M. Ihsan Dacholfany adalah Sekjur STAI Bani Saleh Bekasi

Hakikat Cinta

Cinta merupakan suatu keadaan perasaan yang sifatnya kuat, menakjubkan, mendalam, dan penuh kelembutan terhadap suatu objek tertentu. Karena merupakan suatu yang bersifat personal, seringkali cinta dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin untuk diteliti secara eksperimental, sehingga para ahli psikologi pun mengalami kesulitan tersendiri untuk mengungkapkan dan menjelaskan lebih jauh tentang perasaan cinta ini. Kendati demikian, menurut para ahli bahwa perekembangan perasaan cinta seseorang pertama kali dibentuk dan diperoleh terutama dari ibu atau pengasuhnya pada masa bayi, melalui segenap upaya yang dilakukan ibu dalam rangka pemenuhan berbagai kebutuhan dasar sang bayi.

Menurut Maslow, rasa dicintai dan mencintai merupakan salah satu kebutuhan penting manusia, setelah kebutuhan dasar dan kebutuhan rasa aman. John B. Watson salah seorang penganut behavioristik meyakini bahwa cinta itu ditimbulkan dari adanya rangsangan yang berkenaan dengan kulit pada wilayah erogenous. Pelukan, belaian, usapan dan kecupan halus seringkali digambarkan sebagai manifestasi dari rasa cinta. Sementara itu, dari kelompok Psikoanalis menganggap pentingnya menyusui sebagai bentuk jalinan cinta antara ibu dengan bayi. Menurut John Bowlby bahwa arti penting menyusui tidak hanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rasa haus atau lapar bayi semata, tetapi juga sebagai bentuk “primary object-clinging,” yaitu kebutuhan akan keakraban atau kehangatan melalui kontak fisik dengan sang ibu. Di lain pihak, Erich Fromm (Nana Syaodich Sukmadinata, 2005) mengemukakan bahwa rasa cinta berkembang dari kesadaran manusia akan keterpisahannya dari yang lain, dan kebutuhan untuk mengatasi kecemasan karena keterpisahan tersebut melalui pembentukan suatu persekutuan dengan yang lain. Manusia sebagai individu berdiri sendiri terlepas dari yang lainnya. Karena kesendirian dan keterlepasannya dari yang lain ini seringkali merasa kesepian, merasa cemas, ia membutuhkan seseorang atau orang lain. Berkat adanya situasi ini tumbuhlah rasa cintanya akan orang lain atau suatu hal di luar dirinya. “Every person as a separate individual, experiences aloness. And so we strive actively to overcome our aloness by some form of love” (May, 1968).

Presscot, (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005) mengemukakan beberapa ciri rasa cinta:

  1. Cinta melibatkan rasa empati. Seseorang yang mencintai berusaha memasuki perasaan dari orang yang dicintainya.
  2. Orang yang mencintai sangat memperhatikan kebahagiaan, kesejahteraan dan perkembangan dari orang yang dicintainya.
  3. Orang yang mencintai menemukan rasa senang, dan hal ini menjadi sumber bagi peningkatan kebahagiaan, kesejahteraan, dan perkembangan dirinya.
  4. Orang yang mencintai melakukan berbagai upaya dan turut membantu orang yang dicintai untuk mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemajuan.

Objek cinta tidak selalu manusia, bisa juga benda, keadaan, pekerjaan, negara, bangsa, tanah air, Tuhan, dsb. Dengan demikian karakteristik yang menjadi perhatian orang yang mencintai sesuai dengan objek yang dicintai ada perbedaan. Dengan mengutip dari Erich Fromm, Nana Syaodih Sukmadinata (2005) mengetengahkan lima macam cinta yang berbeda, yaitu: cinta sahabat, cinta orang tua, cinta erotik, cinta diri sendiri, dan cinta Tuhan.

  1. Cinta sahabat atau persaudaraan, adalah cinta yang paling dasar dan umum. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan orang lain. Kehidupan kelompok, kebersamaan, interaksi sosial merupakan kebutuhan dasar dari individu. Untuk membentuk kehidupan bersama, kehidupan kelompok, dan interaksi sosial yang baik perlu didasari oleh rasa senang, rasa bersahabat, rasa cinta dari individu ke individu yang lainnya.
  2. Cinta orang tua (cinta ibu atau ayah) kepada anak. Cinta ini cinta murni, sebab tanpa didasari pamrih atau imbalan apapun, cinta orang tua benar-benar ditujukan bagi kepentingan anaknya. Cinta orang yang tulus (unconditional parental love) menjadi dasar bagi pembentukan inti harga diri (core of self esteem) anak (Buss, 1973)
  3. Cinta erotik merupakan cinta antara jenis kelamin yang berbeda, antara pria dengan wanita. Cinta ini disebut cinta erotik karena mengandung dorongan-dorongan erotik atau seksual. Pada umumnya, perasaan cinta ini muncul dalam diri seseorang bersamaan dengan munculnya hormon seksual pada saat memasuki masa remaja awal. Jika perasaan cinta ini tidak terkendalikan dengan baik justru akan dapat menimbulkan berbagai bentuk penyimpangan perilaku seksual.
  4. Cinta diri sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa bertindak sebagai subjek dan juga sebagai objek. Berkenaan dengan masalah cinta, objek cintanya bisa dirinya sendiri. Kecintaaan terhadap diri sendiri yang berlebihan dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan mentalnya, dengan apa yang disebut narcisisme.
  5. Cinta Tuhan merupakan manifestasi dari hubungan manusia dengan yang ghaib, yaitu yang menciptakannya. Cinta Tuhan lahir dari keyakinan agamanya, dan akan Tuhannya yang menentukan segala kehidupannya. Cinta Tuhan juga merupakan manifestasi dari kesediaan makhluk untuk berbakti kepada-Nya.

Teori-Teori Motivasi


oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167)
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
  • Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
  • Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
  • Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa :
  • Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
  • Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
  • Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
  • Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
  • Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :

  • Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
  • Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
  • Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
  • Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.

Perkembangan Filsafat Ilmu

Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan

Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology , dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.

Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.

Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.

Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.

Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagi kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik Masyarakat”, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan mereifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang sistem yang eksis.

Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika.

Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979) mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth is not one thing, – or even a system. It is an increasing completely” Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.

Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apayang disebut “obyektivitas”. “ Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and valuationally. Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil penelitian

Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-empirik,–yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan–, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.

Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, –perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi dan (3) fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural,– terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.

Daftar Pustaka

Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung :P PS-IKIP Bandung.

Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.

Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.

Filsafat_ Ilmu, http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.

Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.

Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.

Mantiq, http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm.

Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia

Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin)

Bidang Bimbingan dan Konseling

Terdapat empat bidang bimbingan dan konseling yang menjadi ruang lingkup pelayanan. Keempat bidang tersebut adalah:

  • Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.
  • Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.
  • Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.
  • Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.

Fungsi, Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling

Tujuan pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkem-bangannya, (2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3) mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.

Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli agar dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar (akademik), dan karir.

1. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah:

* Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
* Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
* Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
* Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis.
* Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
* Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat
* Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya.
* Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.
* Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia.
* Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
* Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.

2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah :

* Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.
* Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan.
* Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.
* Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku, mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi ujian.
* Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas.
* Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.

3. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :

* Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan.
* Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir.
* Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama.
* Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan.
* Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.
* Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.
* Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang konseli bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut.
* Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki. Oleh karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya, dalam bidang pekerjaan apa dia mampu, dan apakah dia berminat terhadap pekerjaan tersebut.
* Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karir.

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN

Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.

Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall

Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.

Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).

Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.

Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.

Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,

Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,

Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.

Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.

Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.

Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.

Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.

Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.

Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.

Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.

Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.

Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.

——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.

——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.

Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen

Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.

Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU